Selasa, 23 September 2014

RO58 UPDATES : LARANGAN CURANG DALAM JUAL BELI

FIQH JUAL BELI..........LARANGAN CURANG DALAM TIMBANGAN


وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ﴿١﴾الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ﴿٢﴾وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ﴿٣﴾أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ﴿٤﴾لِيَوْمٍ عَظِيمٍ﴿٥﴾يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam (QS. al-Muthaffifîn/83:1-6)

PENJELASAN AYAT 1-3 :
Makna muthaffifîn
Kata wail (وَيْلٌ) artinya adzab yang dahsyat di akherat. Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata, “Itu adalah satu jurang di Jahannam, tempat mengalirnya nanah-nanah penghuni neraka.”[1]

Sementara kata التَّطْفِيفُ (at-tathfîf) bermakna pengurangan. Kata ini berasal dari kata الطَّفِيْفُ yang artinya sesuatu yang sedikit.[2] (Pelakunya-red) disebut mutathaffif karena tidaklah ia mencuri (mengambil) milik orang lain melalui proses penakaran dan penimbangan kecuali kadar yang sedikit.[3]

Menurut Ulama Lughah (Bahasa Arab), al-muthaffifûn adalah orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan, tidak memenuhi dan menyempurnakannya.[4]

Allâh Azza wa Jalla langsung menafsirkan hakekat muthaffifîn (yang melakukan kecurangan) dalam ayat kedua dan berikutnya, dengan berfirman[5] yang artinya, "Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi." (al-Muthaffifîn/83:1-6)

Praktek kecurangan mereka seperti yang diterangkan Allâh Azza wa Jalla , jika orang lain menimbangkan atau menakar bagi mereka sendiri, maka mereka menuntut takaran dan timbangan yang penuh dan sekaligus meminta tambahan. Mereka meminta hak mereka dipenuhi dengan sebaik-baiknya, bahkan minta dilebihkan. Namun apabila mereka yang menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi kadarnya sedikit, baik dengan cara menggunakan alat takar dan timbangan yang sudah direkayasa, atau dengan tidak memenuhi takaran dan timbangannya, atau dengan cara-cara curang lainnya.

Mereka tidak suka orang lain mendapatkan perlakuan yang sama dengan perlakuan untuk dirinya (dengan dipenuhi timbangan dan takaran bila membeli).[6]

Orang-orang yang melakukan kecurangan ini terancam dengan siksa yang dahsyat atau neraka Jahannam.

BAHAYA MENGURANGI TIMBANGAN DAN TAKARAN
Kecurangan tersebut jelas merupakan satu bentuk praktek sariqah (pencurian) terhadap milik orang lain dan tidak mau bersikap adil dengan sesama.[7] Dengan demikian, bila mengambil milik orang lain melalui takaran dan timbangan yang curang walaupun sedikit saja berakibat ancaman doa kecelakaan. Dan tentu ancaman akan lebih besar bagi siapa saja yang merampas harta dan kekayaan orang lain dalam jumlah yang lebih banyak.

Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Jika demikian ancaman bagi orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan orang lain, maka orang yang mengambil kekayaan orang lain dengan paksa dan mencurinya, ia lebih pantas terkena ancaman ini daripada muthaffifîn.[8]

Tentang bahaya kecurangan ini terhadap masyarakat, Syaikh ‘Athiyyah Sâlim rahimahullah mengatakan, “Diawalinya pembukaan surat ini dengan doa kecelakaan bagi para pelaku tindakan curang dalam takaran dan timbangan itu menandakan betapa bahayanya perilaku buruk ini. Dan memang betul, hal itu merupakan perbuatan berbahaya. Karena timbangan dan takaran menjadi tumpuan roda perekonomian dunia dan asas dalam transaksi. Jika ada kecurangan di dalamnya, maka akan menimbulkan khalal (kekisruhan) dalam perekonomian, dan pada gilirannya akan mengakibatkan ikhtilâl (kegoncangan) hubungan transaksi. Ini salah satu bentuk kerusakan yang besar” [9]

PERINTAH MENYEMPURNAKAN TAKARAN DAN TIMBANGAN
Islam dengan kesempurnaan, kemuliaan dan keluhuran ajarannya, memerintahkan umatnya untuk menjalin muamalah dengan sesama atas dasar keadilan dan keridhaan. Di antaranya, dengan menyempurnakan timbangan dan takaran. Allâh Azza wa Jalla berfirman

وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ

Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu [ar-Rahmân/55:9].

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya [al-An’âm/6:152].

Syaikh asy-Syinqîthi rahimahullah mengatakan, “Melalui ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan penyempurnaan (isi) takaran dan timbangan dengan adil. Dan menyatakan bahwa siapa saja yang tanpa kesengajaan terjadi kekurangan pada takaran dan timbangannya, tidak mengapa karena tidak disengaja”.

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa memenuhi takaran dan timbangan lebih utama dan lebih baik manfaat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya [al-Isrâ`/17:35].

Dalam ayat lain, perintah menyempurnakan takaran mengiringi perintah beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Sebab, pelaksanaan dua hal tersebut berarti memberikan hak kepada pemiliknya yang tepat, tanpa ada pengurangan. [10]

Orang yang menyalahi ketentuan yang adil ini berarti telah menjerumuskan dirinya sendiri dalam ancaman kebinasaan. Dan sampai sekarang, praktek ini masih menjadi karakter sebagian orang yang melakukan jual-beli, baik pedagang maupun pembeli. Dengan mendesak, pembeli meminta takaran dan timbangan dipenuhi, dan ditambahi. Sementara sebagian pedagang melakukan hal sebaliknya, melakukan segala tipu muslihat untuk mengurangi takaran dan timbangan guna meraup keuntungan lebih dari kecurangannya ini.
Sejarah telah menyebutkan bahwa Allâh Azza wa Jalla mengutus Nabi Syu’aib Alaihissallam kepada kaum yang melakukan kebiasaan buruk ini. Nabi Syu’aib Alaihissallam sudah menyeru kaumnya, suku Madyan (penduduk Aikah), agar menjauhi kebiasaan buruk itu.

Allâh Azza wa Jalla berfirman.

وَإِلَىٰ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ وَلَا تَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ ۚ إِنِّي أَرَاكُمْ بِخَيْرٍ وَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُحِيطٍ﴿٨٤﴾وَيَا قَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ﴿٨٥﴾بَقِيَّتُ اللَّهِ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ۚ وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفِيظٍ

Dan kepada (penduduk) Madyan, (Kami utus saudara mereka), Syu’aib. Ia berkata, “Hai kaumku, sembahlah Allâh, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (Kiamat)”. Dan Syu’aib berkata, “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa keuntungan dari Allâh adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu [Hûd/11:84-86]

Namun kaum Nabi Syu’aib menolak dan mengingkari dakwah beliau. Allâh Azza wa Jalla mengisahkan mereka berkata, “Hai Syu’aib, apakah agamamu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami” [Hûd/11:87]

Beliau menjawab: “Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu dengan mengerjakan apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allâh aku bertawakkal dan hanya kepada-Nyalah aku kembali” [Hûd/11:88]

Akhirnya, Allâh Azza wa Jalla menghancurkan mereka dengan siksa-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمْ عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ ۚ إِنَّهُ كَانَ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

Kemudian mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa azab pada hari mereka dinaungi awan. Sesungguhnya azab itu adalah azab hari yang besar [asy-Syu’arâ/26:189]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَأَخَذَتِ الَّذِينَ ظَلَمُوا الصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دِيَارِهِمْ جَاثِمِينَ﴿٩٤﴾كَأَنْ لَمْ يَغْنَوْا فِيهَا

Dan orang-orang yang zhalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya . Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. [Hûd/11:94-95]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَأَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دَارِهِمْ جَاثِمِينَ

Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka [al-A’râf/7:91]

Kurangnya pengetahuan (jahâlah) tentang tata cara berniaga dan berdagang yang baik dan syar’i merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi praktek kecurangan dalam takaran dan timbangan (serta perdagangan secara umum). Maka, menjadi kewajiban orang yang terjun di dunia bisnis (perdagangan) untuk mendalami fiqh buyû (hukum-hukum jual-beli dan muamalah Islam). Tujuannya, agar terhindar dari berbuat kecurangan, riba, dusta, kezhaliman dan kehilangan berkah.

Khalifah ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu pernah memperingatkan, “Orang yang belum belajar agama, sekali-kali jangan berdagang di pasar-pasar kami”.

Sahabat ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu pernah berkata, “Pedagang bila (pelaku bisnis) tidak faqih (paham agama) maka akan terjerumus dalam riba, kemudian terjerumus dan terjerumus (terus)”.

PENJELASAN AYAT : 4
Meskipun orang-orang yang curang dalam timbangan dan takaran itu, telah diancam dengan siksa, kecurangan itu tetap saja mereka lakukan, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ﴿٤﴾لِيَوْمٍ عَظِيمٍ﴿٥﴾يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam

Imam Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Tidakkah orang-orang yang mengurangi hak-hak manusia dalam timbangan dan takaran itu meyakini bahwa mereka akan dibangkitkan dari kubur-kubur mereka setelah mereka mati, pada suatu hari yang sangat penting, dahsyat lagi menakutkan?”.[11]

Tidakkah mereka takut kepada hari kebangkitan dan saat berdiri di hadapan (Allâh) Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi dan tertutupi pada hari yang sangat besar bahayanya, banyak menimbulkan kesedihan, dan agung urusannya. Barangsiapa merugi, pasti akan dijerumuskan ke api yang menyala-nyala ?[12]

Kalaupun mereka tidak meyakini adanya hari pembalasan, bukankah lebih baik menganggapnya ada, kemudian merenungkannya, mencari tahu tentangnya, dan akhirnya berhati-hati mengambil langkah selamat dengan tidak mengurangi hak orang lain.[13]

Orang-orang yang melakukan praktek kecurangan (dan para pelaku dosa lainnya) akan menghadapi hukuman Allâh Azza wa Jalla pada hari itu. Hari yang besar. Allâh telah menyebutkannya sebagai hari yang besar sehingga menunjukkan keagungan dan pentingnya hari tersebut. Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkan hari itu sebagai hari yang menakutkan, menyengsarakan, meresahkan dan mengiris perasaan. (Lihat surat at-Takwîr, al-Insyiqâq dan al-Infithâr).

Semua orang akan menghadap Rabbul ‘alamin dari seluruh belahan bumi Timur dan Barat, dibangkitkan di atas satu tempat yang lapang. Satu hari pada masa itu sepanjang 50 ribu tahun. Matahari sangat dekat dengan mereka. Tidak ada pepohonan, bangunan atau apa saja yang bisa dijadikan tempat berteduh, kecuali naungan dari Allâh Azza wa Jalla yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Pada hari yang besar ini, muthaffifûn akan merasakan balasan hukuman. Hendaknya orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang takut terhadap hari itu, dan bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla serta memberikan hak orang lain secara utuh (sempurna). Jika memberi tambahan, maka itu lebih baik. Hendaknya mereka juga mengambil hak mereka secara utuh, namun jika mau bertoleransi, maka itu lebih baik. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik kepada kita.[14]

Di sini, Syaikh as-Sa’di rahimahullah menyimpulkan bahwa yang mendorong mereka berani berbuat kecurangan dalam menakar dan menimbang adalah karena mereka tidak mengimani Hari Akhir. Jika mereka mengimaninya, dan yakin bahwa mereka akan berdiri di hadapan Allâh k untuk memperhitungkan perbuatan mereka, yang besar maupun yang kecil, niscaya akan menahan diri dari praktek curang itu dan kemudian bertaubat darinya.”[15]

PENGARUH AYAT PADA PARA SAHABAT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu menceritakan, “Ketika pertama kali Nabi n datang ke (kota) Madinah, mereka (para penduduknya) termasuk manusia paling buruk dalam menakar. Kemudian Allâh Azza wa Jalla menurunkan (ayat). Selanjutnya mereka memperbaiki cara penakaran.” (Riwayat Ibnu Mâjah dan Ibnu Hibbân dan dishahîhkan oleh al-Albâni).

Al-Farâ` mengatakan, “Mereka menjadi orang yang paling menyempurnakan takaran (dan timbangan) sampai hari ini.”[16]

CATATAN PENTING
Syaikh al-‘Utsaimîn rahimahullah mengingatkan, “Ayat ini meskipun berhubungan erat dengan takaran dan timbangan, hanya saja seorang buruh atau pegawai jika ia menginginkan honornya utuh, namun ia datang kerja terlambat atau pulang terlebih dahulu, ia termasuk muthaffifin yang Allâh ancam dengan kecelakaan. Sebab jika gajinya berkurang 1 riyal saja, pasti akan berkata, “Kok kurang?”.

PELAJARAN DARI AYAT-AYAT
1. Ancaman berat bagi orang-orang curang dalam jual-beli (transaksi).
2. Bahaya curang dalam takaran dan timbangan.
3. Kewajiban manusia, memberikan seluruh milik orang lain yang menjadi tanggungannya.
4. Pentingnya umat memahami agama.
5. Kewajiban menepati akad (menyempurnakan timbangan dan takaran) sudah ada dalam syariat-syariat sebelumnya.
6. Kenekadan dalam berbuat maksiat bertolak dari tipisnya keimanan orang kepada Hari Akhir.
7. Semua orang mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di dunia di hadapan Allâh Azza wa Jalla .
8. Setiap orang harus adil dalam seluruh ucapan dan perbuatannya.
9. Penetapan adanya Hari Akhir, Hari Pembalasan dan Hari Hisab.
10. Agungnya Hari Kiamat, hari manusia berdiri di hadapan Rabbul alamin untuk memperhitungkan amal hamba dan membalasnya.
11. Pentingnya pembinaan umat berbasis iman kepada Hari Akhir. Wallâhu a’lam

Minggu, 21 September 2014

RO 58 TAKAFUL UPDATE: DISIPLIN MENGELOLA UANG

mengelola uang dg disiplin

Mengatur keuangan sebenarnya mudah, namun hal yang membuatnya sulit adalah kurangnya kedisiplinan dalam diri sendiri. Bahkan masih banyak orang yang mengabaikan manajemen keuangan seperti yang dilansir dari Quick Easy Fit berikut ini.
Meminjam uangBeberapa orang menganggap utang sebagai hal yang wajar dan tidak perlu dikhawatirkan. Padahal meminjam uang merupakan indikasi bahwa Anda salah dalam mengelola keuangan.
TabunganJangan pernah menabung di akhir bulan dan menunggu sisa dari pengeluaran. Sebab Anda pasti sulit mengontrol dan akhirnya tidak mampu menabung. Sisihkan uang setelah gajian dan lekas tabung jika ingin mengatur finansial dengan baik.
TagihanBagaimana dengan tagihan? Pastikan Anda membayar tepat waktu. Jika tidak, berbagai denda akan membuat pengeluaran Anda semakin besar dan tidak terkontrol.
PrioritasBanyak orang mengabaikan prioritas pengeluaran. Misalnya sulit membedakan antara kebutuhan dan kemauan. Akibatnya, manajemen keuangan pun hancur berantakan.
MenulisHampir sama seperti pelajaran akuntansi, Anda sebaiknya menulis pemasukan dan pengeluaran setiap bulan. Kalau bukan Anda yang mengontrol keuangan sendiri, siapa lagi?
Kartu kreditApapun yang terjadi, sebisa mungkin hindari kebiasaan berbelanja dengan kartu kredit. Sebab Anda bisa kehilangan kontrol dan akhirnya belanja berlebihan tanpa rencana.
Uang tunaiBerkaitan dengan masalah sebelumnya, lebih baik tinggalkan kartu kredit dan selalu berbelanja dengan uang tunai. Dengan demikian, Anda juga tidak akan terbebani dengan tagihan yang lebih besar.
RencanaManajemen keuangan berikutnya yang sering diabaikan adalah menyiapkan rencana belanja setiap bulan. Hal ini padahal bertujuan untuk mencegah pembelian barang yang sebenarnya tidak diperlukan.

Jumat, 12 September 2014

RO 58 UPDATES: MUDHARABAH

FIQH JUAL BELI.......BAB MUDHARABAH

Definisi Mudharabah [1]
Mudharabah diambil dari kata adh-dharbu fil ardhi yang artinya safar (berjalan di muka bumi) untuk melakukan perdagangan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ

“... Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah...” [Al-Muzzammil: 20]

Dan disebut pula qiradh diambil dari kata al-Qardhu yang artinya al-qath’u (memotong) karena si pemilik memotong sebagian dari hartanya untuk berdagang dan sebagian yang lain dari keuntungannya.

Sedangkan yang dimaksud di sini adalah akad antara dua pihak, yaitu salah satu dari keduanya membayar secara tunai kepada pihak yang lain agar ia berdagang dengannya, dan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan apa yang menjadi kesepa-katan mereka berdua.

Pensyari’atan Mudharabah
Ibnul Mundzir berkata dalam kitabnya, al-Ijmaa’ (hal. 124), “Mereka (ulama) telah berijma’ (sepakat) akan bolehnya qiradh dengan dinar dan dirham, dan mereka juga berijma’ bahwa bagi si pekerja agar mensyaratkan kepada pemilik harta (untuk memperoleh) sepertiga dari keuntungan atau setengahnya atau sesuai apa yang mereka berdua sepakati atasnya setelah menjadi jelas bagiannya.”

Dan para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah beramal dengannya.

Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa, ia berkata, “‘Abdullah dan ‘Ubaidullah, dua putera ‘Umar bin al-Khaththab, keluar bersama pasukan menuju Irak. Ketika kembali keduanya melewati Abu Musa al-Asy’ari yang saat itu menjabat sebagai amir atas kota Bashrah, ia (Abu Musa) pun menyambut kedatangan mereka berdua, kemudian berkata, ‘Jika aku mampu memberikan kepada kalian suatu urusan yang bermanfaat bagi kalian niscaya aku akan melakukannya.’ Kemudian ia (melanjutkan) ucapannya, ‘Ya, ini ada harta dari harta Allah, aku ingin mengirimnya kepada Amirul Mukminin, aku akan meminjamkannya kepada kalian sehingga kalian bisa membeli barang dagangan Irak dengannya kemudian kalian jual di Madinah, lalu kalian sampaikan (kembalikan) modalnya kepada Amirul Mukminin dan keuntungannya untuk kalian berdua.’ Keduanya menjawab, ‘Kami menyukai hal tersebut.’ Lantas ia pun melakukannya dan menulis surat kepada ‘Umar untuk mengambil harta dari keduanya. Ketika keduanya sampai, dan mendapatkan keuntungan. Pada saat keduanya memberikannya kepada ‘Umar, ia (‘Umar) berkata, ‘Apakah ia memberikan pinjaman kepada setiap pasukan seperti apa yang dipinjamkan kepada kalian?’ Keduanya menjawab, ‘Tidak.’ Maka ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘(Apakah karena) kalian berdua putera Amirul Mukminin, sehingga ia meminjaminya kepada kalian berdua? Berikan harta dan keuntungannya!’ Adapun ‘Abdullah, maka ia diam, sedangkan ‘Ubaidullah ia berkata, ‘Tidak sepantasnya engkau melakukan ini, wahai Amirul Mukminin! Seandainya harta ini berkurang atau rusak niscaya kami yang menanggungnya.’ ‘Umar berkata, ‘Berikanlah hartanya.’ ‘Abdullah terdiam dan ‘Ubaidullah tetap membantahnya. Maka salah seorang anggota majelis ‘Umar berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, (bagaimana) kalau engkau menjadikannya sebagai qiradh?’ Lalu ia menjawab, ‘Aku telah menjadikannya sebagai qiradh.’ Lalu ‘Umar mengambil modalnya dan setengah dari keuntungannya dan ‘Abdullah serta ‘Ubaidullah, dua putera ‘Umar bin al-Khaththab mengambil setengah keuntungan dari harta tersebut.” [2]

Seorang Pekerja Adalah Amin (Dipercaya)
Mudharabah hukumnya boleh baik secara mutlak atau pun terikat, dan seorang amil (pekerja) tidak menanggung (kerusakan) kecuali jika ia ceroboh dan menyelisihi (perjanjian).

Ibnul Mundzir berkata, “Mereka (ulama) sepakat bahwa apabila pemilik harta melarang pekerjanya untuk menjual dengan cara nasi’ah (tempo), lalu ia menjualnya dengan cara nasi’ah, maka ia menanggungnya (menggantinya).”[3]

Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia memberi syarat kepada seseorang apabila ia memberinya harta sebagai modal untuknya, “Jangan menggunakan modalku (hartaku) untuk barang yang bernyawa, jangan membawanya ke laut, dan jangan membawanya di tengah air yang mengalir. Jika engkau melakukan salah satu di antaranya, maka engkaulah yang menanggung modalku.” [4]

RO 58 updates: SYIRKAH

FIQH JUAL BELI.....BAB SYIRKAH

Definisi Syirkah
Asy-Syirkah adalah al-ikhtilath (percampuran/persekutuan). Secara syara’ adalah apa yang terjadi dengan ikhtiyar antara dua orang atau lebih berupa percampuran (persekutuan) untuk menghasilkan laba/untung. Dan terkadang terjadi tanpa sengaja seperti warisan.” [1]

Pensyari’atan Syirkah
Allah Ta’ala berfirman:

وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ

“... Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu, sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih; dan amat sedikitlah mereka ini...” [Shaad: 24]

Dan Allah Ta’ala berfirman:

وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِن كَانُوا أَكْثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ

“... Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu...” [An-Nisaa': 12]

Dari as-Sa-ib bahwa ia berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

كُنْتَ شَرِيكِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَكُنْتَ خَيْرَ شَرِيكٍ لاَ تُدَارِينِي وَلاَ تُمَارِينِي.

“Engkau dahulu adalah sekutuku di masa Jahiliyyah, dan engkau adalah sebaik-baik sekutu, engkau tidak pernah menolak dan membantahku.” [2]

Perserikatan Syar’i
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam as-Sailul Jarraar (III/246, III/248), “Perserikatan yang syar’i terjadi dengan adanya saling ridha antara dua orang atau lebih dengan ketentuan setiap orang dari mereka membayar (menyetor) jumlah yang jelas dari hartanya, kemudian mereka mencari usaha dan keuntungan dengan uang tersebut. Setiap orang dari mereka mendapat untung seukuran harta yang ia serahkan, dan bagi setiap orang dari mereka ada kewajiban pembiayaan sebesar itu pula yang dikeluarkan dari harta perserikatan. Jika terjadi saling ridha untuk membagi untung sama rata walaupun jumlah harta yang dikeluarkan berbeda-beda, maka hal tersebut boleh, walaupun harta (yang dikeluarkan) oleh salah seorang dari mereka sedikit dan yang lain lebih banyak. Dan dalam hal yang seperti ini tidak mengapa menurut syari’at, karena ia merupakan perniagaan yang dilakukan atas dasar saling ridha dan ke-relaan hati.”

RO 58 Tanwir update: RIBA

FIQH JUAL BELI....BAB RIBA

Definisi Riba
Ar-Riba -isim maqshur- diambil dari kata rabaa - yarbuu, se-hingga ditulis dengan alif ar-ribaa ( اَلرِّبَا ).

Ar-riba asal maknanya adalah az-ziyadah (pertambahan) baik pada dzat sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ

“…Hiduplah bumi itu dan suburlah...” [Al-Hajj: 5]

Dan bisa juga (pertambahan itu) terjadi pada pertukaran seperti satu dirham dengan dua dirham.

Hukum Riba
Riba hukumnya haram menurut al-Kitab, as-Sunnah dan ijma’ umat.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” [Al-Baqarah: 278-279]

Allah berfirman:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” [Al-Baqarah: 275]

Allah juga berfirman:

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” [Al-Baqarah: 276] [1]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: اَلشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِِ.

“Jauhilah oleh kalian tujuh (perkara) yang membinasakan.” Para Sahabat bertanya, “Apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan cara yang haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menu-duh wanita yang suci bersih lagi beriman (dengan perzinaan).” [2]

Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, ia berkata

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ j آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ.

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, orang yang mewakilinya, pencatatnya dan dua saksinya. Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” [3]

Dan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu a'nhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ.

“Riba memiliki tujuh puluh tiga pintu (dosa), dan yang paling ringan (dosa)nya adalah bagaikan seseorang yang menikahi ibunya.” [4]

Dari ‘Abdullah bin Hanzhalah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً.

“Satu dirham (harta) riba yang dimakan seseorang yang ia mengetahui (bahwa itu riba) adalah lebih dahsyat daripada tiga puluh enam zina.” [5]

Dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ.

“Tidaklah seseorang memperbanyak (memakan) riba kecuali akibat dari perbuatannya adalah (hartanya akan menjadi) sedikit.” [6]

Macam-Macam Riba
Riba ada dua macam: Riba nasi’ah dan Riba fadhl.

Adapun riba nasi’ah adalah tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh si pemberi hutang (ad-da-in) dari si penghutang (al-madiin) sebagai imbalan atas tempo (yang diberikan).

Riba jenis ini haram dengan (dalil) al-Kitab, as-Sunnah dan ijma’ umat.

Adapun riba fadhl adalah jual beli uang dengan uang atau makanan dengan makanan dengan ada tambahannya.

Riba jenis ini haram dengan dalil as-Sunnah dan ijma’ karena ia merupakan wasilah kepada riba nasi’ah.

Jenis-Jenis Yang Diharamkan Riba Padanya
Riba tidak terjadi kecuali pada al-ashnafus sittah (enam jenis) yang disebutkan dalam hadits.

Dari Ubadah bin ash-Shamit ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ.

‘Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam (hendaklah dijual) dengan timbangan yang sama, persis dan langsung diserah terimakan (kontan). (Namun) jika berlainan jenisnya maka juallah semau kalian asal ada serah terima.’” [7]

Apabila enam jenis ini dijual dengan yang sejenisnya seperti emas dengan emas atau kurma dengan kurma, maka haram dilakukan dengan tafadhul (saling dilebihkan) dan haram pula dilakukan dengan cara nasi’ah (ditangguhkan serah terimanya), dan harus ada persamaan dalam timbangan atau takaran dan tidak perlu melihat kepada (kualitas) baik dan buruknya, serta harus ada taqabudh (serah terima) di majelis tersebut.

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ولاَ تَشِفُّوا بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَ تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ولاَ تَشِفُّوْا بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَ تَبِيْعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ.

“Janganlah engkau menjual emas dengan emas kecuali dengan timbangan yang sama dan janganlah engkau melebihkan sebagian atas yang lainnya. Janganlah engkau menjual perak dengan perak kecuali dengan timbangan yang sama dan janganlah engkau melebihkan sebagian atas yang lainnya dan janganlah engkau menjual barang yang ghaib (tidak ada di majelis) dengan barang-barang yang hadir (di majelis).” [8]

Dari ‘Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ.

“Emas dengan emas riba kecuali jika langsung serah terima, gandum dengan gandum riba kecuali jika langsung serah terima dan sya’ir dengan sya’ir riba kecuali jika langsung serah terima dan kurma dengan kurma riba kecuali jika langsung serah terima.” [9]

Dari Abu Sa’id, ia berkata, “Pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kami pernah diberi kurma jama’ (yaitu) kurma campuran (antara yang bagus dengan yang jelek), maka kami menjualnya dua sha’ dengan satu sha’. Berita tersebut sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau bersabda:

لاَ صَاعَيْ تَمْرٍ بِصَاعٍ وَلاَ صَاعَيْ حِنْطَةٍ بِصَاعٍ وَلاَ دِرْهَمَ بِدِرْهَمَيْنِ.

“Janganlah menjual dua sha’ kurma dengan satu sha’ dan jangan pula menjual dua sha’ gandum dengan satu sha’ dan jangan pula satu dirham dengan dua dirham.” [10]

Dan apabila enam jenis ini dijual dengan jenis yang lain seperti emas (dijual) dengan perak atau gandum dengan sya’ir maka boleh tafadhul dengan syarat harus diserahterimakan di majelis karena sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ‘Ubadah yang telah disebutkan: “(Namun) jika berlainan jenisnya maka juallah semau kalian asalkan ada serah terima.”

Dan juga karena sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ‘Ubadah yang terdapat dalam riwayat Abu Dawud dan yang lainnya:

وَلاَ بَأْسَ بِبَيْعِ الذَّهَبِ بِالْفِضَّةِ، وَالْفِضَّةُ أَكْثَرُهُمَا, يَدًا بِيَدٍ, أَمَّا نَسِيْئَةُ فَلاَ, وَلاَ بَأْسَ بِبَيْعِ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ، وَالشَّعِيْرُ أَكْثَرُهُمَا يَدًا بِيَدٍ، وَأَمَّا نَسِيْئَةُ فَلاَ.

“Tidak mengapa menjual emas dengan perak dengan jumlah perak lebih banyak (apabila) langsung serah terima adapun dengan cara nasi’ah (ditangguhkan serah terimanya), maka tidak boleh. Dan tidak mengapa menjual gandum dengan sya’ir dengan jumlah sya’ir lebih banyak (apabila) langsung serah terima, adapun dengan cara nasi’ah maka tidak boleh.” [11]

Dan apabila enam jenis ini dijual dengan jenis dan ‘illat (sebab) yang menyelisihinya, seperti emas dengan gandum dan perak dengan garam, maka boleh tafadhul dan juga nasi’ah.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ.

“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan (pembayaran) tempo, dan beliau menggadaikan baju perangnya kepadanya.” [12]

Al-Amir ash-Shan’ani berkata dalam Subulus Salaam (III/38), “Ketahuilah bahwa ulama telah sepakat atas bolehnya menjual barang riba dengan barang riba lain yang tidak sama jenisnya dengan cara ditangguhkan dan saling dilebihkan, seperti menjual emas dengan gandum, perak dengan sya’ir dan yang lainnya dari barang-barang yang ditakar.” (Selesai).

Juga tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan kurma kering kecuali bagi ahlul ‘araya, mereka adalah orang-orang fakir yang tidak memiliki pohon kurma, maka mereka boleh membeli ruthab dari pemilik pohon kurma yang mereka makan dari pohonnya dengan memperkirakan (takarannya) dengan tamr (kurma kering).

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma :


أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الْمُزَابَنَةِ، وَالْمُزَابَنَةُ بَيْعُ الثَّمَرِ بِالتَّمْرِ كَيْلاً وَبَيْعُ الْكَرْمِ بِالزَّبِيبِ كَيْلاً.

“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang muzabanah (yaitu) menjual kurma basah dengan tamr (kurma kering) dengan takaran dan menjual anggur basah dengan anggur kering dengan takaran.” [13]

Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu :

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ لِصَاحِبِ الْعَرِيَّةِ أَنْ يَبِيعَهَا بِخَرْصِهَا مِنْ التَّمْرِ

“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan bagi pemilik ariyah (pemilik pohon kurma) untuk menjual kurma basah dengan memperkirakan (takarannya) dengan tamr (kurma kering).” [14]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah melarang menjual ruthab dengan tamr lanaran ruthab apabila mengering akan berkurang takarannya, se-bagaimana disebutkan dari Sa’id bin Abi Waqqash.

Dari Sa’id bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu :

أَنَّ النَّبِيَّ j سُئِلَ عَنْ بَيْعِ الرُّطَبِ بِالتَّمْرِ فَقَالَ أَيَنْقُصُ الرُّطَبُ إِذَا يَبِسَ؟ قَالُوْا: نَعَمْ فَنَهَى عَنْ ذلِكَ.

“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang menjual ruthab dengan tamr, maka beliau menjawab, ‘Bukankah ruthab akan menyusut apabila mengering?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Maka beliau melarangnya.” [15]
.
Juga tidak boleh menjual barang ribawi dengan yang sejenisnya, sedangakan bersama keduanya atau bersama salah satunya jenis yang lain.

Dari Fadhalah bin ‘Ubaid Radhiyallahu a'nhu, ia berkata, “Aku membeli kalung pada hari Khaibar seharga dua belas dinar, pada kalung tersebut ada emas dan mutiara. Lalu aku melepas mutiaranya. Tiba-tiba aku menemukan padanya lebih dari dua belas dinar. Lalu aku menceritakannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ تُبَاعُ حَتَّى تُفَصَّلَ.

‘Jangan engkau jual sehingga engkau pisahkan (emas dengan mutiara).’” [16]

Rabu, 10 September 2014

komisi broker dalam pandangan islam

uang yang didapatkan dengan cara menjadi perantara penjualan (broker),apakah sah atau haram?
berikut ini penjelasan yang saya nukil dari Fatwa fatwa ulama Arab..



Jika seseorang membawa seorang konsumen ke salah satu pabrik atau toko untuk membeli suatu barang. Lalu pemilik pabrik atau toko itu memberikan komisi atas konsumen yang dibawa. Apakah komisi yang diperoleh itu halal atau haram ? Jika pemilik pabrik itu memberikan tambahan uang dalam jumlah tertentu dari setiap item yang dibeli konsumen tersebut, dan orang tersebut (broker/makelar) mau menerima tambahan tersebut sebagai atas pembelian konsumen tersebut, apakah hal tersebut dibolehkan ? Dan jika hal itu tidak dibolehkan, lalu apakah komisi yang dibolehkan ? Mengenai hal ini, Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta menjawab :
Jika pihak pabrik atau pedagang memberi broker/makelar sejumlah uang atas setiap barang yang terjual melalui broker/makelar tersebut sebagai motivasi atas kerja keras yang telah dilakukan untuk mencari konsumen, maka uang tersebut tidak boleh ditambahkan pada harga barang, dan tidak pula hal tersebut memberi mudharat pada orang lain yang menjual barang tersebut, di mana pabrik atau pedagang itu menjual barang tersebut dengan harga seperti yang dijual oleh orang lain, maka hal itu boleh dan tidak dilarang.
Tetapi, jika uang yang diambil dari pihak pabrik atau toko dibebankan pada harga barang yang harus dibayar pembeli, maka tidak boleh mengambilnya, dan tidak boleh juga bagi penjual untuk melakukan hal tersebut. Sebab, pada perbuatan itu mengandung unsur yang mencelakakan pembeli dengan harus menambah uang pada harganya.
Sumber :
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Fatwa Nomor 19912 dan Fatwa Nomor 19637. Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i

bursa effek dalam pandangan syariat islam

Sebagai salah satu dampak positif dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi adalah bertambah dan meluasnya tata cara ummat manusia dalam melakukan usaha-usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai salah satu tuntutan dari kehidupan, sebab pada dasarnya di waktu Allah menciptakan makhlukNya yaitu di waktu manusia dilahirkan, Allah telah memberikan untuknya rezekinya. Rezeki itu berupa saham yang dipertaruhkan di dalam perusahaan dunia ini dimana terdapat saham makhluk manusia secara merata. Tidak mungkin seseorang mendapatkan hasil sahamnya itu tanpa ia berusaha, sebab malas tidak membawa bahagia bagi manusia.



Memenuhi kebutuhan hidup adalah merupakan salah satu ajaran agama yang harus dipenuhi oleh setiap ummat Islam. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam salah satu firman Allah dalam �Al-Qur�an sebagai berikut :

Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain), sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Didalam ayat lain Allah SWT memerintahkan ummat manusia untuk bekerja sebab Allah SWT, RasulNya dan orang-orang yang beriman akan melihatnya (memberikan imbalan/balasannya) sesuai firman Allah :

Artinya : Dan katakanlah : Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
Oleh karena itu maka seluruh potensi yang ada baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi harus dikembangkan sedemikian rupa untuk dapat menghidupi ummat manusia secara keseluruhan. Hal ini sebagaimana dikemukakan Prof. Dr. M. Umer Chapra, seorang ahli ekonomi Islam terkenal :
Dengan demikian maka pendayagunaan sumberdaya manusia secara penuh dan efisien merupakan bagian tak terpisahkan dari tujuan sistem yang islami, karena hal ini tidak hanya membantu pencapaian tujuan kelayakan ekonomi yang luas melainkan juga menyadarkan manusia akan harga diri yang dituntun oleh status mereka sebagai khalifah Allah. Pendayagunaan sumberdaya material yang efisien juga merupakan tujuan yang penting karena menurut Islam, semua sumber daya di langit dan dibumi diperuntukkan bagi kesejahteraan manusia dan perlu dipergunakan dengan semestinya, tanpa menimbulkan ekses penghambur-hamburan, untuk hal-hal yang membuat mereka kreatif. Mereka yang karena sesuatu hal tidak dapat bekerja tetap mendapat, tanpa dipermalukan atau dicurigai, bantuan sebagaimana telah diajarkan oleh Islam dalam program solidaritas sosialnya.
Hal ini perlu ditekankan sebab agama Islam adalah merupakan sebuah sitem yang komprehensif dan merupakan jalan hidup yang sempurna. Islam mengatur setiap persoalan dengan asas agama (religiusitas). Islam juga memadukan segala nilai matrerial dan spritual ke dalam satu keseimbangan menyeluruh agar memudahkan manusia menjalani kehidupan yang telah ditentukan oleh rahmat dan kasih sayang Allah di akhirat nanti.
Salah satu bidang usaha dalam rangka menghidupi diri, keluarga dan masyarakat di alam modern sekarang ini dan belum pernah dilakukan pada masa-masa terdahulu khususnya pada masa Rasulullah SAW, masa Shahabat, masa Tabiin dan pada masa penyusunan kitab-kitab mazhab .. Bursa Efek adalah merupakan salah satu institusi terpenting yang beroperasi dalam pasar modal dan mempunyai pengaruh yan sangat besar dalam bidang perekonomian suatu negara terutama negara-negara yang menjalankan sistem ekonomi liberal atau kapitalis yang dikenal juga dengan ekonomi pasar.
Ekonomi negara secara makro (global) disifati menurut kestabilan, kekuatan dan kemantapan bursa efek. Ia merupakan cerminan ekonomi negara, sehingga negara memegang otoritas dan perhatian yang mendalam terhadap isntitusi tersebut dengan membuat undang-undang, peraturan pengawasan dan pembaharuan (revisi) terus menerus terhadap peraturan tersebut sehingga ia selaras dengan perkembangan dan penemuan-penemuan baru, baik secara regional maupun internasional. Namun demikian kita dituntut untuk selalu waspada, sebab persoalan ekonomi mempengaruhi semua sektor kehidupan masyarakat.
Pengertian dan Fungsi Bursa Efek
Pemakaian istilah bursa untuk menunjukkan tempat atau transaksi yang berhubungan dengan surat-surat berharga, merujuk kepada julukan seorang pedagang Belgia yang bernama Vander Bourse. Pedagang tersebut memilki hotel di kota Bruges, Belgia, yang menjadi tempat bertemunya para pedagang di kota tersebut. Aktifitas ini terjadi pada abad ke enam belas Masehi. Defenisi bursa secara umum berarti : Tempat transaksi produk-produk surat berharga di bawah pembinaan dan pengawasan pemerintah. Adapun fungsi-fungsi terpenting yang dilakukan oleh bursa effek adalah sebagai berikut :

1. Pengadaan Pasar Berkesinambungan dan Sempurna (Continus Perfect Market).
Bursa merupakan representasi dari pasar yang terus menerus, operasional atas surat-surat berharga di dalamnya dilakukan pada waktu-waktu kerja yang resmi. Keistemewaan bursa efek adalah biasanya ia merupakan pasar sempurna (perfeck Market) dalam arti ekonomi. Maksud dari kesempurnaan dalam hal ini adalah : terpenuhinya pengetahuan penjual dan pembeli atas kondisi pasar. Selain itu dalam bursa efek tercapai kompetisi bebas, sehingga penentuan harga berjalan sesuai dengan hukum penawaran dan permintaan (supply and demand) kecuali pada waktu darurat. Selain itu juga dalam transksi bursa efek terjamin transparansi, yang mana para pialang (broker) penjual dan pialang pembeli berkomunikasi dengan cara, kode, harga-harga tercantum dalam papan yang disediakan dan dapat dilihat oleh semua orang.

2. Kemudahan investasi Modal
Investasi dalam bursa efek mempunyai keunggulan dengan mudahnya investasi tersebut jika dibandingkan dengan bidang-bidang investasi lainnya. Kemudahan tersebut terlihat jelas dengan dimungkinkannya untuk menginvestasikan sebesar apapun harta, baik kecil maupun besar, untuk jangka waktu kapan saja baik jangka panjang maupun jangka pendek, dan hal tersebut tidak membutuhkan kemampuan pengetahuan ilmu ekonomi yang tinggi.

3. Mendorong Untuk Menabung dan Mengumpulkan Harta
Bursa efek merealisasikan keistimewaan bagi para penabung yang mendorong mereka untuk memanfaatkan harta dalam bentuk surat-surat berharga. Keistimewaan tersebut berupa pemberian keamanan yang sempurna atas modal mereka dan perolehan keuntungan yang teratur dari surat-surat berharga yang dioparsikan dalam bursa tersebut, sebagaimana institusi ini juga memberikan hak kemudahan operasional terhadap obligasi kapan saja dikehendaki. Transparansi yang ada di bursa juga membantu para pemilik modal untuk menentukan keputusan yang cocok dalam berinvestasi.

4. Keseimbangan Harga
Tugas ini dinamakan sebagai arbitrase yaitu istilah untuk suatu proses penyeimbangan harga bagi saham tertentu antara beberapa bursa dalam suatu negara tertentu, jika dalam negara tersebut terdapat lebih dari satu bursa, seperti bursa efek Kairo dan Alexanderia di Mesir atau juga bursa efek Jakarta dan Surabaya di Indonesia. Adanya bursa efek ini akan dapat menyeimbangkan gejolak harga yang sangat tajam antara naik dan turun akan hilang. Kondisi yang sama juga terjadi pada saham-saham perusahaan internasional yang terdaftar (listed) di bursa-bursa internasional.

Faktor-Faktor Keberhasilan Bursa Efek

Agar bursa efek dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan lebih sempurna harus terpenuhi beberapa syarat tertentu, yaitu :
1. Politik (kebijakan) ekonomi yang baik dan terarah, jauh dari sikap inefisiensi, rendah dan boros, menghindarkan pemusatan investasi pada hal-hal dan barang-barang mewah yang tidak menyentuh kebutuhan rakyat. Kebijakan ekonomi yang tidak dikuasai oleh mapia birokrat.
2. Kestabilan kondisi politik, ekonomi dan konstitusi yang membantu kestabilan modal yang dimiliki oleh para pemilik modal yang loyal terhadap negaranya, dan ingin memperoleh keuntungan hakiki (jangka panjang) dari investasi riil serta mencegah para pencuri, perampok dan orang-orang yang ingin mengeruk keuntungan atas kemudahan investasi dan pembebasan pajak kemudian setelah itu mereka melarikan diri.
3. Ekonomi yang bergairah dan melimpahnya tabungan yang ditujukan kepada investasi-investasi yang mengarah kepada tercapainya pertumbuhan ekonomi riil dan efektif.
4. Konsorsium perbankan dan lembaga keuangan yang sempurna, menggunakan teknik-teknik canggih dan modern serta adanya SDM berkualitas tinggi.
5. Transparansi yang sempurna, jauh dari penyamaran, penyembunyian, gharar, dan ketidak tahuan yang mengantarkan kepada pengambilan harta orang lain dengan cara yang bathil.
6. Kebijakan perpajakan yang stabil, dimana pajak dipungut dengan cara yang benar dan dibelanjakan di jalan yang benar, tidak mengakibatkan pengambilan harta masyarakat dengan paksa dan bathil serta menghalangi aktifitas produksi (investasi) dan tabungan.
Perusahaan dan lembaga yang Beroperasi
Bursa efek hanyalah merupakan pasar yang di dalamnya diperjual belikan surat-surat berharga dan produk-produk yang mempunyai sifat-sifat khusus. Di samping itu ada beberapa aktifitas lain yang merupakan usaha kelaziman bagi bursa dan merupakan penggerak baginya serta membuat tugas-tugas yang diemban oleh bursa dapat terlaksana dengan lebih sempurna dan lebih baik.

Perusahaan-perusahaan dan institutsi-institusi terpenting yang melakukan aktifitas bursa efek tercerminkan dalam hal-hal berikut :
1. Pialang (broker) Pasar Modal.
2. Lembaga penunjang dan profesi penunjang.
3. Pengatur emisi dan transaksi.
4. Lembaga Kliring dalam Pasar Modal.
5. Pengelolaan dan konsultasi.
6. Perusahaan Sekuritas.
7. Bursa-Bursa Swasta.

Pandangan Hukum Islam

Untuk mengetahui apakah Bursa Efek dibenarkan dalam pandangan hukum Islam ataukah tidak, maka masalah ini akan penulis bahas dari tiga segi, pertama adalah dari sisi kelembagaan, kedua adalah dari sisi hakekat surat-surat berharga itu sendiri, dan ketiga adalah dari sisi transaksinya, baik transaksi saham, obligasi, surat pembiayaan, maupun surat investasi dan termasuk praktek-praktek transaksi dalam bursa efek itu sendiri.

Kelembagaan Bursa Efek

Dari sisi kelembagaan, bursa efek adalah merupakan sebuah lembaga baru yang tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW dan bahkan pada masa keemasan pengembangan Fiqh Islam (Masa Imam Mazhab). Bursa efek adalah merupakan lembaga baru yang belum terumuskan sebelumnya dalam kitab-kitab fiqh klasik. Oleh karena itu maka dalam rangka untuk menentukan apakah lembaga bursa efek ini sesuai dengan hukum Islam ataukah tidak, maka cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengembalikannya kepada koridor Siyasah Syariyyah (politik Islam) yaitu asas manfaat dan menolak kerusakan.
Hal ini sesuai dengan Kaidah Fiqhiyah yang menyebutkan bahwa semua inti persoalan ataupun apa saja, adalah dikembalikan kepada Kaidah Fiqhiyah yang pokok yaitu :


Artinya : Menolak kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan.
Selain itu, istilah bursa efek tidak ada satu teks ayat atau haditspun yang melarang penggunaan bentuk-bentuk manajemen dan organisasi bursa efek. Tidak ada batasan atas hal tersebut kecuali batasan manfaat yang hendak dicapai dan kerusakan yang hendak dihindari. Oleh karena itu maka bursa efek tidak bertentangan dengan Siyasah Syariyah, sebab siyasah syariyah adalah suatu perbuatan dalam rangka lebih dekat pada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan walaupun tidak ditetapkan oleh Rasulullah SAW dan tidak diturunkan wahyu dalam hal itu.

Surat-Surat Berharga

Dari sisi surat-surat berharga, surat-surat berharga adalah dokumen untuk menetapkan adanya hak kepemilikan dalam suatu proyek atau hutang atas hal itu. Transkasi dalam surat berharga tersebut bukan atas kertas itu sendiri melainkan atas hak-hak yang direpresentasikan oleh kertas-kertas tersebut. Surat berharga berdasarkan hal-hal yang direpresentasikan adakalanya berupa saham dan adakalanya berupa bonds (surat pengakuan hutangh/obligasi). Masing-masing jenis surat berharga tersebut mempunyai pembagian yang bermacam-macam sesuai dengan sifat hak dan kewajiban yang dikandung oleh surat-surat tersebut.
Dari sisi surat-surat berharga ini juga hampir sama dengan pembahasan tentang sisi kelembagaan tersebut di atas. Dari sisi ini juga tidak ada satu teks ayat atau haditspun yang melarang tentang surat-surat berharga. Penulis beranggapan bahwa surat-surat berharga ini hanyalah sebagai pengganti dari nilai mata uang atau kepemilikan harta yang telah dituangkan dalam bentuk surat-surat berharga, sehingga dengan demikian maka hal ini hanyalah merupakan sesuatu yang sah-sah saja dan boleh-boleh saja dilakukan dalam bermuamalah dengan orang lain.
Hanya saja yang pelu dijaga dan diatur adalah jangan sampai bertransaksi dengan surat-surat berharga pada bursa efek tersebut, melanggar kode etik islami dalam berbaiah. Kode etik islami dalam berbaiah yang dimaksud di sini adalah perjanjian yang diambil oleh para pelaku bisnis terhadap dirinya sendiri mengenai sejumlah etika, contohnya etika hukum, etika moral, etika perilaku, etika seni, dan lain-lain, yang berlaku sebagai petunjuk mereka dalam berbisnis, dan menjadi salah satu standar dalam mengevaluasi perbuatan mereka, juga menghukum mereka ketika mereka lalai atau melanggar peraturan.

Hukum Transaksi Saham

Dari segi boleh tidaknya dalam pandangan hukum Islam melakukan transaksi saham, dapat dilakukan analisis dari sisi pembahagian dan macam-macam saham sebagai berikut :

1. Saham perusahaan yang beroperasi dalam hal-hal yang halal dan baik, modalnya bersih dari riba dan penyucian harta kotor serta tidak memberikan salah satu pemegang sahamnya keistimewaan materi atas pemegang saham lainnya.
Saham perusahaan yang seperti ini adalah boleh secara syari, bahkan sangat dianjurkan dan disenangi (sunnah), karena adanya manfaat yang diraih dan kerusakan yang bisa dihindari dengan saham tersebut. Perdagangan (jual-beli) saham-saham perusahaan tersebut, aktifitas mediator, publikasi saham dan pendaftarannya serta ikut memperoleh bagian dari keuntungannya, semua itu diperbolehkan. Apalagi semua aktifitas dan dana yang ditanamkan di sana adalah bersumber dari yang halal.

2. Saham perusahaan yang beroperasi dalam hal yang diharamkan dan menjijikkan, atau modalnya merupakan harta haram darimanapun asalnya, atau perusahaan tersebut memberikan keistimewaan materi bagi sebagian pemegang saham seperti keistimewaan dalam bentuk pengembalian modal lebih dulu ketika perusahaan dilikuidasi atau keistimewaan atas hak tertentu dalam keuntungan (dividen).
Melakukan aktifitas dalam saham-saham yang jelas-jelas dilarang Allah SWT dan RasulNya, apalagi uang yang ditanamkan dalam perusahaan itu bersumber dari yang haram, adalah merupakan perbuatan haram dan mendapat dosa dari Allah SWT. Sehingga dengan demikian maka tidak dibolehkan menanam saham dalam perusahaan-perusahaan seperti itu, begitu juga menjadi pialang dalam sahamnya, mengedarkan dan mencatatkannya dalam pasar. Kesemua itu termasuk dalam kategori yang diharamnkan dalam ajaran agama
Islam.

3. Saham perusahaan yang operasionalnya bercampur antara yang halal dan yang haram sebagai contoh jika aktifitas dan modal perusahaan tersebut halal, hanya saja perusahaan tersebut memakai pinjaman ribawi untuk mendanai sebagian aktifitasnya, atau operasional perusahaan tersebut berdasarkan akad-akad yang haram. Perusahaan seperti ini sangat banyak dijumpai dewasa ini, dan bahkan bisa disebutkan bahwa sebagian besar atau pada umumnya perusahaan-perusahaan termasuk dalam kategori ini.
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan jelas-jelas keharamannya, sebab berpegang pada Kaidah Fiqh yang artinya, Apabila bercampur yang halal dengan yang haram, maka hal itu dihukumkan haram Namun ada juga riwayat dari Salafus Shalih yang menyebutkan bahwa, Harta yang bercampur antara halal dan haram, jika lebih banyak halalnya, maka boleh berinteraksi dalam harta tersebut selagi sesuatu yang menjadi obyek muamalah tersebut hakekatnya tidak haram.
Dalam masalah ini penulis lebih cenderung untuk mengikuti pendapat yang kedua, sebab di zaman modern sekarang ini pada umumnya perusahaan-perusahaan tidak dapat menghindarkan diri dari sistem perbankan konvensional yang di dalamnya menganut sistem riba dengan catatan bahwa perusahaan tersebut beraktifitas dalam bidang-bidang yang halal, akan tetapi apabila aktifitasnya itu dalam hal yang dilarang seperti perjudian, menjual minuman keras, maka hal itu jelas-jelas dilarang dan diharamkan dalam ajaran agama Islam. Namun demikian tentu kalau dapat menghindarkan diri dari perusahaan-perusahaan yang bercampur antara yang halal dengan yang haram ini, tentulah menghindarinya lebih baik daripada mengikutinya.

Hukum Transaksi dengan Obligasi

Obligasi merupakan istilah dari surat berharga bagi penetapan hutang dari pemilik/pihak yang mengeluarkan obligasi atas suatu proyek dan memberikan kepada pemegangnya hak bunga yang telah disepakati disamping nilai nominal obligasi tersebut pada saat habisnya masa hutang. Pemegang obligasi menikmati hal-hal berikut :
1. Hak mendapatkan bunga yang tetap sesuai dengan kesepakatan.
2. Hak pengembalian nilai/harga obligasi pada saat habis masanya.
3. Hak untuk mengedarkan obligasi dengan menjualnya kepada orang lain.
Memperhatikan bahwa obligasi sebagaimana tersebut di atas adalah hutang yang pemegangnya berhak atas bunga yang tetap, maka hal ini adalah merupakan perbuatan riba yang nyata-nyata dilarang dalam Al-Quran, Al-Hadits dan Ijma para Ulama baik ulama salaf maupun ulama khalaf. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.

Hukum Transaksi dengan Surat Pembiayaan

Surat pembiayaan merupakan salah satu jenis obligasi, hanya saja ia tidak beroperasi berdasarkan komisi/bunga yang tetap, akan tetapi bunganya berubah-rubah dan tidak melebihi yang ditetapkan oleh Bank Sentral yang bersepakat dengan badan umum yang mengurus pasar modal (BAPEPAM). Pembeli surat tidak ikut serta dalam pengelolaan perusahaan, tidak mendapat bagian keuntungan, tidak ikut menanggung kerugian serta tidak mendapatkan hak atas hasil likuidasi. Ia hanyalah pemberi hutang bagi proyek/perusahaan tersebut dengan harga nominal surat tersebut dan ia memperoleh imbalan yang ditentukan berdasarkan cara-cara yang telah disebutkan.
Bertransaksi dengan hal-hal seperti tersebut di atas adalah sesuatu yang dilarang dalam ajaran agama Islam, sebab pemegang saham hanyalah pemberi hutang yang berhak mendapat imbalan atas hutang tersebut, sehingga hal ini hanyalah salah satu bentuk pinjaman ribawi yang diharamkan.

Hukum Transaksi Dalam Surat Investasi

Surat investasi merupakan jenis surat berharga yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan yang mencari modal. Pemegang surat ikut andil dalam keuntungan dan dalam menanggung kerugian senilai persentase harga surat. Dia juga mempunyai hak dalam hasil proyek pada saat likuidasi atau selesai, serta nilai surat dapat dikembalikan jika ada kesepakatan atas hal itu.
Surat investasi dengan sifat dan karakterisktik di atas diperbolehkan pengeluarannya, pemasaran dan bermuamalah dengannya dalam berbagai macam bentuk mumalah, sebab kedudukan pemegang surat ini mirip dengan kedudukan pemilik modal dalam akad mudharabah. Hanya saja dalam transkasi surat investasi ini, penyertaan modal tidak diwujudkan dalam bentuk uang tunai, tetapi dalam bentuk surat investasi yang nilainya sama dengan nilai uang.
Bentuk Transaksi pada Bursa Efek dan Hukumnya
Bentuk-bentuk transaksi pada bursa efek adalah bermacam-macam. Dalam pembahasan ini akan dibicarakan bagimana bentuk-bentuk transaksi pada bursa efek tersebut dan apa hukumnya. Berikut pembahasannya :

1. Hukum Transaksi Spot (Langsung).
Transaksi Spot (langsung) atau yang disebut juga dengan pasar masa sekarang. Dalam transaksi ini pembeli membayar harga secara sempurna dan menerima surat berharga dari penjual sesuai dengan prosedur yang ada dalam bursa. Bentuk transaksi seperti ini dibolehkan dalam ajaran agama Islam, karena ia merupakan jual beli tunai, dimana surat berharga dan harganya diserahterimakan secara langsung dan tidak ada tangguh sama sekali.

2. Hukum Trading On Margin
Bentuk transaksi ini adalah pembeli membayar sebahagian harga secara tunai, kemudian perantara (pialang) mencari pinjaman kepada bank untuk melunasi sisa harga, dengan syarat surat berharga obyek transaksi tersebut dijadikan jaminan bagi pialang untuk melunasi harga pinjaman. Surat berharga tersebut didaftarkan atas nama perusahaan perantara (pialang) dan bukan atas nama pembeli, kemudian pihak pialang membayar bunga kepada bank atas pinjaman tersebut dan membebankannya kepada pembeli dalam bentuk harga yang lebih tinggi dari harga bunga.
Dalam transaksi ini, pembeli tidak membayar harga secara keseluruhan, sampai batas ini tidak ada permasalahan secara syari, karena syariat Islam membolehkan jual beli tempo. Hanya saja keharaman tersebut timbul karena pialang menghutangkan sisa harga akad dengan sitem bunga yang nyata-nyata dilarang dalam ajaran agama Islam
.
3. Hukum Short Sale
Bentuk dari transaksi ini adalah penjual melakukan penjualan terhadap surat berharga yang tidak ia miliki pada waktu akad penjualan, namun ia melakukan pembelian pada waktu jatuh tempo dan menyerahkannya kepada pembeli atau dengan cara berhutang dari pialang. Pada kondisi ini, pialang menyimpan harga sampai penjual membelinya dan menyerahkannya kepada pialang. Inti dari Short sale ini adalah penjulaan surat berharga yang tidak menjadi milik penjual, begitu juga pembelian sesuatu yang tidak menjadi milik penjual. Hal ini diharamkan sesuai hadits Nabi SAW :
Artinya : Rasulullah SAW melarang jual beli sesuatu yang tidak dimiliki dan melarang keuntungan dari sesuatu yang tidak bisa dijamin kepastiannya.

4. Hukum Transaksi Option
Transaksi ini tidak terjadi pada surat berharga tapi objeknya adalah hak beli (call option) atau hak jual (put option) atas surat berharga, sehingga objek akad adalah hak tersebut. Transaksi option ini didefenisikan sebagai akad yang memberikan hak bagi pemegangnya untuk membeli atau menjual surat berharga tertentu pada masa akan datang dengan harga tertentu yang ditentukan pada waktu akad.
Pada transaksi ini orang yang menjual surat berharga pada umumnya tidak memiliki barang tersebut pada waktu akad, padahal kepemilikan secara sah atas barang mutlak diperlukan pada waktu akad. Kemudian dalam hal ini unsur adu keberuntungan sangat tinggi, sehingga transaksi ini adalah merupakan salah satu bentuk perjudian dan diharamkan dalam ajaran agama Islam.

5. Hukum Transaksi Indeks Bursa
Indeks-indeks pasar modal merupakan wasilah yang membantu para pekerja dalam bursa untuk memperoleh informasi tentang kondisi perekonomian pasar modal. Indeks mencerminkan sejauh mana perubahan yang terjadi pada harga surat berharga dalam pasar modal baik naik maupun turun. Indeks bukanlah komoditi dan juga bukan surat berharga, namun pelaku pasar melakukan taruhan atasnya sesuai dengan transaksi option, forward atau future. Transaksi ini adalah merupakan sebuah perjudian yang dilarang dalam Islam.

Penutup

1. Kesimpulan

a. Bursa Efek adalah tempat transaksi produk-produk surat berharga di bawah pembinaan dan pengawasan pemerintah. Bursa efek ini adalah merupakan salah satu bentuk lembaga dimana ummat manusia melakukan aktifitas perekomian dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya.
b. Bursa Efek dari sisi Kelembagaan adalah merupakan lembaga baru yang belum pernah diatur sebelumnya baik dalam al-Quran maupun dalam al-Hadits. Oleh karena itu secara kelembagaan ia adalah merupakan lembaga yang sah-sah dan boleh-boleh saja berdiri.
c. Saham atau surat-surat berharga adalah merupakan sesuatu yang diperjual belikan pada bursa efek. Saham atau surat-surat berharga tersebut juga sesuatu yang doleh-boleh saja sebab saham hanyalah pengganti mata uang atau harta dalam bentuk surat.
d. Hukum transaksi Saham atau Surat-Surat Berharga sangat tergantung pada asal usul modal dan bergerak dalam bidang apa perusahaan tersebut. Apabila modalnya dari yang halal dan bergerak pada usaha yang halal, maka hukumnya halal. Apabila sebaliknya modal dan usahanya yang haram, maka hukumnya adalah haram. Namun apabila ada pencampur adukan antara yang halal dan yang haram, maka para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan halal dan ada juga yang mengatakan haram.

2. Saran-Saran

a. Bursa Efek adalah sesuatu yang sangat mempengaruhi perekonomian dan kesejahteraan suatu bangsa, oleh karena itu maka ummat Islam harus terlibat di dalamnya, sebab jika ummat Islam tidak terlibat maka bursa efek tersebut akan diurus oleh orang lain, yang tidak menutup kemungkinan akan dapat menghancurkan perekonomian ummat Islam.
b. Kegiatan-kegiatan pada bursa efek harus dicarikan solusinya sehingga aktifitasnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Dengan demikian maka ummat Islam bisa intens terlibat di dalamnya.
c. Masalah bursa efek ini perlu dikaji lebih mendalam dan diajarkan secara serius pada perguruan ting-perguruan tinggi Islam, sehingga intelektual muda Islam dapat memahaminya secara utuh.